Senin, 28 Desember 2009

Fenomena Ghost Writer di Dunia Maya

(HEAD LINE @kompasiana.com)

Menyimak dari namanya, cukup menyeramkan juga...seperti berbau hantu..:), tapi benarkah demikian?, bisa masuk katagori scary job kah? Hm...mari kita simak fenomena profesi yang semakin memiliki lahan subur dalam era konvergensi bin digital ini.

Efek Konvergensi.
Sebetulnya keberadaan ghost writer sudah eksis sejak dahulu, mulai dari menuliskan naskah pidato para pejabat, membuatkan artikel, bahkan sampai karya akademik berupa skripsi, juga desertasi doktor dengan atas nama sang pemesan. Selanjutnya, tak bisa dipungkiri, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) ternyata telah menjadi salah satu faktor pemicu pesatnya perkembangan profesi ghost writer. Bagaimana tidak, saat ini tren gaya hidup telah menuju bahkan beralih ke digital online, berbagai berita dari berbagai belahan dunia bisa kita akses dengan mudah hanya dari sebuah telepon seluler “seri konvergensi” yang minimal sudah memiliki fasilitas General Package Radio Service (GPRS). Lain dari itu, sekarang setiap individu juga bisa memiliki wahana publikasi dengan kondisi relatif tanpa biaya alias murah di dunia yang baru saja menjerat Luna Maya dan Prita Mulya ke ranah hukum ini. Dahulu, ketika menggunakan media konvensional, akan sangat mustahil bila kita melakukan promosi atau publikasi dengan anggaran atau dana cekak tetapi menginginkan hasil yang mempunyai dampak luas. Bahkan saya masih ingat pepatah yang sering diungkapkan oleh ayah saya, “Kalau mau mancing buaya ya umpannya monyet, bukan cacing” (hm...untung beliau tidak mengatakan cicak..:) ), analogi tersebut menggambarkan, jika kita menginginkan sesuatu yang besar maka dibutuhkan juga modal yang besar.

Lain dulu lain sekarang, dengan perkembangan teknologi TIK yang bermuara ke konvergensi, promosi dan publikasi bisa menjadi milik siapa saja, Media Blog maupun Website (Web) sekarang banyak dipilih sebagai salah satu marketing tool oleh berbagai kalangan sebagai media promosi, publikasi atau pencitraan diri, baik itu artis, politisi, public figur, pejabat (yang sudah tinggi maupun yang belum tinggi), pengusaha, institusi baik yang berorientasi pada keuntungan maupun tidak, hingga masyarakat umum. Selain karena murah, alasan yang lebih kuat adalah efisiensi serta memiliki efek yang dasyat. Memang media online memiliki beberapa keunggulan, dan yang paling mendasar adalah real time, sehingga memiliki link yang terintegrasi sudah menjadi kebutuhan mutlak bagi para profesional untuk lebih memiliki eksistensi di era digital ini. Bagaimana jika tidak memiliki waktu untuk meng update situs-nya karena kesibukan pekerjaan? bagi juragan berkantong tebal, bukan masalah, serahkan saja pada “Gost Writer”.
Para Ghost Writer di Dunia Maya

Dalam satu kesempatan, seorang teman, berbisik kepada saya ketika seseorang melintas didepan kami, “Itu tuh, dia ghost writer nya si ‘A’, makanya sekarang mayan (bc: lumayan) tuh hidup nya..”. Seketika, saya pun bisa membayangkan ke “mayan” an hasil meng-ghostwriter-in pengusaha muda A yang juga putera mahkota pengusaha besar dan sudah kondang dalam keberhasilan mengelola kerajaan bisnisnya bahkan sampai ke manca negara, hal itu bisa terlihat dari penampilan perlente sang ghost writer yang dilengkapi gadget terbaru seri “konvergensi” yang menempel pada dirinya. Pengusaha “A” tersebut telah menyewa sang ghost writer untuk mengelola blog miliknya , dan menulis artikel-artikel berdasarkan pesanan, sehingga masyarakat yang membaca berasumsi bahwa tulisan tersebut adalah opini atau ide kreatif dari sang pemilik blog.

Ditinjau dari perspektif ekonomi, tidak ada yang salah, dari sang pemberi order maupun sang penerima order. Bahkan tercipta simbiosis mutualisme. Karena kesibukannya, sang pemberi order yang mungkin tidak terlalu pandai dalam menuangkan ide nya menjadi kata-kata yang bermakna positif terkait dengan pencitraan dirinya kemudian menyewa penulis untuk mengelola blog atau web nya. Tentunya dengan memberikan upah yang bisa lebih menyejahterakan sang ghost writer. Sekilas tidak ada bedanya dengan perusahaan yang menyewa Public Relation (PR). Namun akan menjadi masalah dari sudut pandang kode etik bila sang ghost writer adalah reporter atau penulis profesional (bc : wartawan) yang sudah memiliki kontrak kerja dan berjanji untuk mendedikasikan keprofesionalan mereka pada institusi yang menaunginya. Disinilah makna “ghost” menjadi lebih nyata. Karena sang penulis benar-benar berkeinginan untuk menjadi “ghost” dan tidak ingin mengungkapkan jati dirinya, namun ingin memperoleh penghasilan tambahan dengan bekerja sampingan.

Contoh lain, seorang teman yang lain, bercerita bahwa dirinya mengelola blog artis ternama model merk sabun mandi terkemuka, “Placement kita lain, dia bukan artis kacangan, tapi seorang artis yang educated dan memiliki kelas tersendiri. Sehingga perlu pencitraan yang sesuai dengan kelasnya, jadi image sebagai artis papan atas tetap terjaga.”, ungkapnya ketika saya meminta sang artis untuk menjadi pembawa acara dalam sebuah Seminar Interternasional sebagai hasil kerja bareng Goverment to Goverment di pertengahan tahun ini. Terus apa saja yang ditulis dan di-posting dalam blog artis tersebut? Menurut sang ghost writer, dia mendokumentasikan dan memosting kegiatan-kegiatan sang artis, menjawab komentar-komentar dari penggemarnya, bahkan sampai dengan menulis opini atau artikel yang tentu saja atas nama sang artis dan seolah-olah sebagai hasil buah pemikiran sang artis.
Sekilas tampak sah-sah saja selama kedua belah pihak terpuaskan dengan hasil yang diperoleh.
Etika dan Aturan Main.

Dari paparan diatas, sebetulnya bagaimanakah etikanya? Apakah profesi ghost writer ini bisa dikatagorikan sebagai pekerjaan yang halal? Mengingat ada konspirasi (mesti kecil) didalamnya. Karena bagaimanapun juga termuat kebohongan publik ditengah era keterbukaan yang sedang diperjuangkan di republik ini.

Dan bagaimana jika timbul masalah, terkait dengan tulisan sang ghost writer? Misalnya ada pihak ketiga yang tidak berkenan dengan tulisan atau postingan sang ghost writer dan kemudian menuntut atau melaporkan ke pihak berwajib. Disini, siapakah yang layak dilaporkan dan dituntut? Adakah undang-undang Internet dan Transaksi Elektronik (ITE) yang mengaturnya? Sebagaimana kita ketahui, undang-undang ITE yang sekarang sedang hangat diperbincangkan adalah UU ITE pasal 27 ayat 3 mengenai pencemaran nama baik yang juga telah menyeret Prita Mulya Sari ke balik jeruji besi. Oleh karena itu, terlepas dari haram atau halal atas profesi ini, para ghost writer harus lebih cermat dan hati-hati sebelum me-mosting tulisannya ke blog maupun situs sang juragan pemesan, karena ancaman hukumannya tidak main-main, yakni enam tahun kurungan atau denda 1 Milyar. Dan bagi pemberi order ada baiknya membaca terlebih dahulu tulisan tersebut sebelum di-posting, sebagai double cross check. Selanjutnya, sebagai konsekuensi logis dari manusia dewasa, tentu kita harus bertanggung jawab terhadap segala perbuatan yang kita lakukan, life about choises...
(Ini baru prolog dari sebuah episode, selanjutnya adakah yang berkeinginan meng-edukasi masyarakat mengenai hal ini...monggo..:) )

Senin, 23 November 2009

Menari di atas Kwadran Ruang dan Waktu

(Perempuan Indonesia dalam Era Konvergensi Teknologi Informasi dan Komunikasi).

the big sixth @XL AWARDS 2009

“Baik.. Dua ekor ayam kampung.. Dikirim kemana njjih...?” ujar seorang ibu sambil mengempit telepon di antara kepala dengan bahunya. Tangan kirinya menggendong bocah usia dua tahunan. Sementara tangan kanannya menulis alamat sang pemesan. Semua anggota tubuhnya aktif. Bergerak serentak namun harmonis bak sedang menari.

Pemandangan alam pedesaan yang indah, ditingkah dengan “tarian” kesibukan sang ibu itu begitu mengesan di benak saya. Terjadinya sudah hampir duapuluh tahun silam, saat saya makan siang di sebuah warung ayam goreng, usai pulang kuliah. Tanpa bermaksud memuji berlebihan (hanya karena saya juga sesama perempuan), ditengah keterbatasannya, perempuan memang manusia multitasking. Guna menunjang bisnisnya, sang ibu pengusaha kecil tersebut telah berkarib dengan teknologi telekomunikasi untuk menjalin komunikasi yang lebih efisien dengan pelanggannya. Waktu itu, alat telekomunikasi yang digunakan masih berupa fixed phone yang lazim disebut telepon.

Lewat dua dekade, Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berkembang demikian pesat hingga menuju ke muara konvergensi. Konvergensi TIK, dalam makna sederhana yang saya pahami, adalah tergabungnya beberapa alat telekomunikasi bahkan broadcast dalam satu perangkat sehingga lebih efisien, nyaman dan mempunyai manfaat bagi penggunanya. Tentu ada arti yang lebih ilmiah bagi istilah konvergensi ini sebagaimana dirumuskan oleh para pakar. Salah satunya, Malaysian Communication and Multimedia Commission (MCMC), merumuskan konvergensi sebagai “Progressive integration of value chain of the information and content industries into a single market and value chain based on the use of distributed digital technology, (MCMC 2001)”.
Sebagai pengguna sekaligus penikmat, saya tidak akan membahas detail mengenai teknologi konvergensi dari sudut pandang analisa teknologinya. Selain bukan kapasitas saya, kapabilitas diri pun patut diragukan..:).

Instrumen Pengiring Tarian
Perkembangan TIK yang teraplikasi dalam satu perangkat atau bahasa kerennya gadget yang mudah ditenteng, memang bak instrumen sakti bagi para pekerja kreatif dan perempuan pebisnis yang memiliki mobilitas tinggi, guna memulai “tarian”-nya.
Sementara, para operator penyedia jaringan berperan sebagai penabuh instrumen tersebut.

Saat ini, para operator berlomba memberikan layanan jaringan internet maupun telepon yang relatif terjangkau bagi masyarakat. Dengan infrastruktur dari jaringan kabel, fiber optic, hingga satelite. Ketika diikuti dengan diluncurkan USB modem seluler ke pasar, maka slogan “kapanpun, di manapun, siapapun” milik salah satu merk minuman multinasional sah terimplementasi. Dengan USB modem yang dicolokkan ke laptop, selanjutnya bisa on line kapanpun, di manapun dan bisa dilakukan oleh siapapun.
Pilihan lain, hanya dengan bermodal ponsel yang telah dilengkapi teknologi 3G, kita bisa tersambung jaringan internet dengan cara berlangganan baik harian maupun bulanan, yang sekarang marak ditawarkan oleh para operator penyedia jaringan.
Bagi yang cekak dana, jika ponselnya 3G dan dilengkapi dengan WiFi, tak perlu mengeluarkan uang untuk berlangganan, manfaatkan saja fasilitas-fasilitas hot spot yang sekarang banyak disediakan sebagai tambahan kenyamanan fasilitas publik. Jika koneksinya byar-pet, harap maklum dan doakan saja semoga yang berkepentingan segera memperbaiki dan meningkatkan fasilitas jaringannya. Namanya juga gratis...:).
Kemudahan jaringan internet dan gadget seri “konvergensi” tersebut menjadi instrumen penting yang akan mengiringi lompatan-lompatan indah perempuan Indonesia, dalam tarian di atas kwadran ruang dan waktu.

Tarian di Atas Kwadran
Instrumen telah siap, didukung dengan kemampuan multitasking yang sudah menjadi generic skill kaum hawa maka akan tercipta efisiensi yang maksimal. Kreativitas menjadi tidak lagi terbelenggu, melainkan dapat tereksplorasi bebas melintasi kwadran ruang dan waktu.

Merujuk kejadian 20 tahun silam di warung ayam goreng itu, menurut diagram The Basic Matrix, yang menganalisa mengenai kwadran ruang dan waktu, maka sang ibu tersebut telah melakukan peran multitaskingnya dan melakukan loncatan melintasi kwadran ruang dan waktu dengan bantuan teknologi telekomunikasi telepon seperti tepapar berikut ini:


Dalam waktu yang bersamaan sang ibu tersebut bisa melompat dari tugas merawat anak (same time same place) , kemudian meluncur ke same time different place, ketika menjalin komunikasi dengan pelanggannya melalui telepon. Pada masa itu, untuk melakukan asynchronous communication dengan posisi different place different time, belum ada sarana teknologinya selain dengan cara manual yakni surat.

Memasuki era konvergensi, diagram basic di atas mengalami perkembangan yang luar biasa. Komunikasi bisa dilakukan secara mobile, melalui handphone (cellphone), video conference, share view, files, bahkan mengedit files secara bersamaan. Dari teori time/space matrix for non-computer technologies (Dix et al 1998) menuju ke Computer Supported Cooperatif Work, seperti terpapar berikut ini (CSCW). Apa yang bisa dilakukan kaum hawa dalam kwadran di atas? Mari kita cermati.




Teringat oleh istilah It takes two to tango, maka berpasangan dengan TIK, perempuan bisa menari dari kwadran yang satu ke kwadran yang lain dalam satu kurun waktu sesuai dengan kebutuhan. Konvergensi TIK akan semakin menyempurnakan keunggulan generik multitasking yang sudah mereka miliki.
Contoh soal, ketika konsekuensi kodrati dan tanggung jawab sebagai ibu mengharuskan kaum perempuan untuk merawat buah hati yang masih balita, bekerja dari rumah menjadi pilihan yang rasional. Seorang penulis perempuan yang tak luput dari konsekuensi tersebut, bisa menyelesaikan tugasnya tanpa harus meninggalkan sang buah hati, artikel/tulisan dapat dikirim melalui e-mail. Dalam tempo yang sangat singkat, dia dapat menari dan melompat dari kwadran same time-same place, ketika menjaga anak. Kemudian meluncur ke kwadran different time different place, saat mengirim e-mail hasil pekerjaan, yang mungkin akan dibuka oleh koleganya dalam waktu yang berbeda.

Tak pelak, dengan diiiringi istrumen gadget seri “konvergensi” berupa handphone yang ditabuh oleh para operator penyedia jaringan, perempuan akan mampu menggenggam dunia ditengah keterbatasan kodratinya. Bagi pengusaha perempuan, mengelola dan mengendalikan bisnis pun menjadi semakin efisien. Berkomunikasi dengan klien, distributor, dan kolega tidak harus bertatap muka lagi. Melainkan bisa dilakukan dengan e-mail, teleconference, chatting melalui skype, Yahoo! Messenger atau MSN, dan semua itu bisa dilakukan hanya melalui sebuah handphone yang sudah memiliki teknologi “konvergensi”.

Menjalankan bisnis sambil menjemput anak pulang sekolah, bukan masalah. Mari kita simak betapa dasyatnya pekerjaan yang bisa dilakukan di mobil sembari menunggu anak pulang sekolah dalam kwadran ruang dan waktu berikut ini:

Rakyat Alor, Nusa Tenggara Timur, memiliki sebuah tarian bernama dodakado yang menggambarkan keceriaan muda-mudi pada saat acara-acara pesta adat. Tarian ini menunjukkan ketangkasan para muda-mudi dalam berlompat-lompat di antara bambu-bambu yang dimainkan.


Lompatan-lompatan komunikasi yang bisa dilakukan dari dalam mobil sembari menunggu anak pulang sekolah, ternyata telah membentuk tarian melintasi kwadran ruang dan waktu, bak tarian dodakado yang memukau itu. Dengan gesitnya seorang perempuan bisa melompat dari kwadran yang satu ke kwadran yang lain. Tak kalah dengan kegesitan lompatan kaki muda-mudi di antara bambu yang dibuka-tutup, menyerupai matrix CSCW di atas.

Betapa termanjakannya kaum perempuan dengan kemajuan teknologi konvergensi. Konvergensi pada segi konten pun tak kalah berpihaknya kepada kaum hawa, para operator penyedia jaringan juga menyuguhkan kemewahan dengan inovasi-inovasi baru yang mengagumkan.
Bagi penggemar novel, yang saya yakini sebagian besar adalah perempuan, kini tidak harus pergi ke toko buku untuk mendapatkan novel yang diinginkan. Salah satu operator seluler bahkan menawarkan kepada konsumennya untuk mengunduh novel secara bab per bab hanya lewat satu gadget mungil yang bernama handphone yang telah memiliki fasilitas GPRS atau 3G. Bekerja sambil mendengarkan konser musik klasik hasil unduhan di podcast, atau menonton TV lewat internet untuk mengikuti perkembangan berita pun menjadi tidak muskil lagi.

Dua Sisi Mata Pisau
Bagai dua sisi mata pisau, teknologi konvergensi pun memiliki tantangan tersendiri. Ditinjau dari segi makro, kita sepakat bahwa tertinggalnya suatu daerah, salah satunya disebabkan oleh infrastuktur dan informasi. Maka dengan perkembangan teknologi konvergensi yang pesat, akan menimbulkan dampak kesenjangan informasi dan kesenjangan digital (digital divide) antardaerah menjadi semakin lebar, baik dari segi infrastruktur maupun kemampuan sumber daya manusia.

Selain itu, dalam konteks pengembangan dan pemanfaatan TIK secara luas, beberapa kajian menunjukkan adanya sebagian kelompok penduduk marginal yang menghadapi kendala memanfaatkan TIK. Kelompok penduduk tersebut adalah penduduk perempuan dan penduduk miskin yang lemah dalam penguasaan TIK karena berbagai hal seperti rendahnya skill, minimnya infrastuktur dan rendahnya pendapatan.

Menyadari kesenjangan dari segi SDM tersebut, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, tahun lalu mengadakan pelatihan Peningkatan Kapasitas Perempuan dalam TIK, dengan materi pengenalan internet, membuat email dan membuat blog di 15 propinsi. Dan sekarang, telah bermunculan perempuan-perempuan Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap sesamanya dengan menggelar pelatihan-pelatihan serupa. Berharap dengan pelatihan tersebut dapat mengajak semakin banyak kaum perempuan Indonesia untuk berdodakado diatas kwadran ruang dan waktu.

Bagaimana dengan infrasrtuktur yang akan berfungsi sebagai penabuh instrumen?. Berdasarkan tulisan Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel), Basuki Yusuf Iskandar, pada Desember 2007, “Perkembangan Teknologi Komunikasi”, rencananya akan dibangun megaproyek backbone yang bernama Palapa Ring. Palapa Ring merupakan jaringan serat optik pita lebar yang berbentuk cincin yang mengitari tujuh pulau, yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua, serta delapan jaringan penghubung dan satu cincin besar yang mengelilingi Indonesia baik lewat dasar laut atau pun lewat daratan. Diungkapkan, manfaat Palapa Ring bagi pembangunan Indonesia adalah untuk :
- Ketersediaan layanan komunikasi dari voice hingga broadband sampai seluruh kota/kabupaten.
- Efisiensi investasi yang akan mendorong tarif telekomunikasi semakin murah.
- Terjadi percepatan pembangunan dalam sektor komunikasi khususnya di Indonesia Bagian Timur, dan akan mendorong bertumbuhnya varian penyelenggara jasa telekomunikasi dan jasanya.
- Keberadaan aplikasi seperti distance learning, telemedicine, e-government, dan aplikasi lainnya, dapat diimplementasikan hingga mencapai kota/kabupaten.
Investasi pembangunan Palapa Ring sepenuhnya berasal dari operator telekomunikasi anggota konsorsium, tidak ada dana yang berasal dari Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara (APBN).

Selain itu, pemerintah juga mencanangkan program Universal Service Obligation (USO), yang bertujuan untuk mempercepat akselerasi pembangunan daerah tertinggal. Berbeda dengan Palapa Ring, dana dalam proyek ini diperoleh dari prosentase keuntungan para operator yang wajib di setor ke pemerintah, ditambah dengan dana dari jastel (Depkeu) sebagai ICT fund.“Kewajiban USO dari industri awalnya 0,75% sekarang naik menjadi 1,25 % untuk akselerasi pembangunan backbone telekomunikasi,” ungkap Dirjen Postel , Basuki Jusuf Iskandar, dalam pidatonya pada acara 2nd Annual Indonesia Internasional Summit 2009, di Hotel Mulia Senayan, Jakarta, 11 November 2009. Kita tunggu saja realisasi pembangunan jaringan tersebut untuk mengiringi tarian perempuan Indonesia menjadi semakin rancak.
Monggo... :)