Kamis, 30 Desember 2010

Indonesia Terkoneksi : Hiduplah Indonesia Raya!

Kabar pembangunan ’jalan tol’ telekomunikasi untuk seluruh ibukota provinsi dan cybercity 2014, seperti yang dilontarkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring pada acara bincang-bincang dengan salah satu televisi swasta mengenai ’Indonesia Digital 2014 No Blank Spot’ pada awal Desember 2010 lalu, memang bak oase dipadang gersang. Setelah sekian lama menunggu janji-janji manis, sudah saatnya pemerintah dan pihak-pihak terkait segera serius menggarap ’jalan tol’ telekomunikasi ini.

Indonesia Raya Terkoneksi
Bayangkan jika seluruh Indonesia terkoneksi, betapa luar biasa! Bisa dipastikan akselerasi percepatan daerah tertinggal akan semakin mantap, kualitas pendidikan meningkat terkait dengan derasnya informasi yang masuk, geliat perekonomianpun dipastikan juga akan turut meningkat. Singkat kata, habis gelap terbitlah terang jilid ke dua dipastikan akan menandai era ’Indonesia Raya’ Terkoneksi ini.

Teringat akan film science fiction Startrek, saat terbukanya era peradaban umat manusia bumi dengan galaksi-galaksi lain setelah ditemukan teknologi warp (warp drive) oleh Zefram Cochrane. Dengan pesawat bintang ’Phoenix’, Cochrane mencoba teknologi warp drive menembus angkasa mencapai galaksi lain yang berjarak ratusan tahun cahaya, hingga pada akirnya membuka pengetahuan baru, dimana manusia bisa menjelajah hingga tepi alam semesta.

Bisa saja Indonesia terkoneksi ini dianalogikan dengan era warp drive-nya Startrek. Dimana masyarakat di daerah tertinggal akan punya akses untuk menembus batas ruang dan waktu, berpindah dari kwadran yang satu ke kwadran yang lain dengan menggunakan Computer Supported Cooperatif Work (CSCW), yakni terkoneksi dalam waktu yang sama dengan tempat yang berbeda ataupun dalam waktu dan tempat yang berbeda, berselancar untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan dengan mudah, terkoneksi dengan masyarakat modern lainnya tanpa dibatasi oleh garis demarkasi daerah atau negara.

Membangun Infrastruktur
Dengan platform induktif seperti impian diatas, siapa yang tidak tergerak untuk meraihnya? Sejak 2007 pemerintah mulai mencanangkan program USO (Universal Service Obligation), yakni program pemerintah di bidang telekomunikasi yang bertujuan mempercepat akselerasi pembangunan daerah tertinggal. Program ini dibiayai oleh para penyelenggara telekomunikasi yang beroperasi di Indonesia, dengan cara melakukan pembayaran kontribusi kewajiban pelayanan universal (KKPU) kepada pemerintah setiap triwulan, yang besarnya dihitung berdasarkan prosentase tertentu dari pendapatan kotor penyelenggara telekomunikasi setiap tahun buku.

Namun seperti diketahui pelaksanaan proyek yang dikomando oleh pemerintah ini masih tersendat. Sudah bukan waktunya lagi bagi kita untuk saling tuding dan menyalahkan kekurang lancaran proyek USO ini. Sebagai anak bangsa sewajarnya untuk saling bahu membahu menggalang daya demi terselenggaranya pembangunan infra struktur telekomunikasi ini. Sehingga tidak diharamkan sektor swasta untuk turut berpartisipasi.


Kepedulian sektor swasta terhadap pembangunan backbone telekomunikasi untuk daerah tertinggal, tentu sangat dinantikan dan akan mempunyai manfaat yang besar bagi pertumbuhan perekonomian bangsa. Berdasarkan survei yang dilakukan ITU (International Telecommunications Union) 1% pembangunan infrastruktur telekomunikasi akan menggerakkan pertumbuhan ekonomi sebesar 3%. Sehingga melalui pembangunan telekomunikasi sebagai infrastruktur dasar, akan memacu pertumbuhan industri baru di daerah yang dibangun seperti industri pariwisata, pertanian, perikanan, industri rakyat menegah kecil, industri/jasa telekomunikasi seperti warung telekomunikasi, warung internet, layanan kesehatan jarak jauh (tele medicine), hingga layanan belajar jarak jauh (distance learning).

Dampak Indonesia Terkoneksi
Selain manfaat yang sudah dipaparkan diatas, dampak dari Indonesia terkoneksi ini akan menggerakkan multiplier effect yang luar biasa. Kesenjangan digital segera dapat diminimalisir, cita-cita untuk menerapkan e-government, e-KTP, hingga e-voting dan beragam ‘e’ lainnya bisa terimplementasi. Kemunculan industri kreatif di dunia TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) juga akan terbuka lebar dari jasa sistem hingga konten. Berbisnis pun tidak harus memerlukan modal besar. Dampak koneksi ini mematahkan slogan high budget high impact, menjadi low budget high impact.

Dapat dibayangkan bila Indonesia dari Sabang sampai Marauke yg terdiri atas sekitar 13ribu pulau dengan penduduk 235juta jiwa dapat terkoneksi secara online. Betapa manfaat yang luar biasa dapat dikembangkan, dengan interkoneksi komunikasi menjadikan Indonesia sebagai pasar potensial yang sangat besar.

Namun hal ini harus dicermati, agar peluang besar ini tidak dimanfaatkan oleh pihak asing. PR selanjutnya adalah kiat membekali masyarakat dengan edukasi yang cukup sehingga dapat menggunakan teknologi ini untuk kesejahteraannya. Seperti yang diungkapkan oleh Roberts S. Kaplan, dalam buku Strategy MAPS, dimana Human Capital adalah intangible asset yang mempunyai faktor penting untuk diekplor menjadi tangible asset, maka bangsa ini sudah mempunyai intangible asset dalam jumlah besar. Mari kelola intangible asset bangsa Indonesia menjadi tangible asset dengan bantuan teknologi telekomunikasi, tarik jangkar kembangkan layar menuju Indonesia Raya Terkoneksi.

Kamis, 23 Desember 2010

Digital Gangsters, Ancaman atau Peluang?

Mendengar kata gangsters, segera terbayang sekelompok anak muda dengan wajah dingin, kerah overcoat berdiri, dengan gaya cool dilengkapi senjata pistol. Demikian gambaran gangsters di dunia nyata yang tertuang dalam film-film produksi hollywood dan melekat di masyarakat luas. Bagaimana dengan di dunia maya? Dapat dipastikan mereka bukan orang-orang yang mempunyai rambut cepak, badan kekar ataupun wajah sangar. Justru mereka kebanyakan masih
remaja dengan anugerah wajah malaikat.

Mengenal Digital Gangsters
Digital Gangsters (DG) disinyalir sebagai komunitas yang melakukan ‘kenakalan’ di dunia digital hingga bisa mendapatkan uang secara mudah melalui internet dengan cara kurang etis atau bahkan tidak etis, namun susah untuk dijerat oleh undang-undang. Apakah merugikan atau melanggar privasi orang lain? Tentu saja! Siapa yang rela datanya dicuri atau account-nya di obok-obok oleh orang lain? Dalam sepak terjangnya, digital gangsters tidak seperti virus flu atau virus internet yang tanpa pandang bulu menyerang Netizen (orang yang terlibat aktif dalam komunitas online). Namun, komunitas ini sangat berbahaya bagi kalangan institusi dan selebriti, baik itu politisi maupun kaum birokrat.

Siapa saja yang termasuk dalam kategori DG? Ada yang sembunyi-sembunyi, namun ada juga yang mengaku blak-blakan, bahkan memiliki forum resmi dan mempunyai situs sendiri, antara lain www.digitalgangsters.com. Dimana para 'hacker' kelas dunia sering 'nongkrong' disana dan memamerkan kehebatan mereka dalam mencuri data yang kemudian memamerkannya di situs tersebut.

Selanjutnya, siapa tak kenal Wikileaks? salah satu situs yang dioperasikan oleh organisasi internasional yang bermarkas di Swedia. WikiLeaks menjadi perhatian dunia, bukan karena menyajikan berita yang baru dan aktual, namun karena mengundang kontroversi. Seperti dilansir Wikipedia, pada bulan Juli 2010, situs ini menyajikan pembocoran dokumen Perang Afganistan. Selanjutnya, pada Oktober 2010, hampir 400.000 dokumen Perang Irak dibocorkan oleh situs ini. Pada November 2010, WikiLeaks mulai merilis kabel diplomatik Amerika Serikat. Selain itu, situs ini juga mengungkapkan dokumen aktivitas militer AS, tentara Pakistan, kepemimpinan politik Afghanistan, dan hubungan dengan pemimpin al Qaeda dan Taliban. Pengungkapan itu terdiri dari 91.731 dokumen, meliputi periode antara Januari 2004 dan Desember 2009. Sebelum dirilis ke publik, Wikileaks telah memberikan akses kepada The Guardian, The New York Times, dan Der Spiegel. Kebanyakan dokumen ini dikelompokan sebagai dokumen "rahasia". Sehingga, kebocoran dokumen rahasia ini dianggap sebagai salah satu yang terbesar dalam
sejarah militer Amerika Serikat.

Wow betapa dasyatnya! Apakah Wikileaks masuk dalam katagori digital gangsters? Bagi institusi yang merasa dirugikan bisa jadi situs ini dituding sebagai DG. Namun bagi netter pada umumnya, WikiLeaks dianggap sebagai situs yang menyiarkan keterbukaan informasi terhadap publik. Memaparkan fakta yang bisa menjadi pencerahan di dunia informasi.

Bagaimana dengan DG di Indonesia? Walaupun tidak terang-terangan, profesi ini kini berkembang dan diminati sebagai pekerjaan baik part-time maupun full-time atas nama 'kenakalan' dengan bonus menghasilkan uang di dunia maya. Sebagai contoh, situs multilevel marketing yang tidak bertanggung jawab, seperti arisan piramid dengan iming-iming hadiah mobil. Mereka meminta kita menyetor sejumlah uang baik lewat ATM atau internet banking dan tidak jelas siapa yang dapat, setelah sekian lama tiba-tiba situsnya raib begitu saja. Contoh lain, pernahkah anda mendapatkan pesan di inbox Facebook yang menawarkan jasa bisa meng-hack akun Facebook seseorang dalam jangka waktu tertentu, dengan meminta imbalan tertentu. Dan uangnya akan diambil jika sudah terbukti bisa melaksanakan permintaan klien untuk membajak akun FB orang tertentu. Para crackers (orang yang membobol sistem keamanan jaringan komputer, baik untuk uang atau sekedar memenuhi tantangan namun cenderung merugikan) ini membentuk group atau ‘geng’ tersendiri , tergabung dalam satu komunitas dan menjadi digital gangsters bagi netters lainnya.
Tentu modus ‘kenakalan’ mereka bisa beraneka ragam.

Minat anak muda untuk menjadi crackers atau hackers ternyata tidak bisa dianggap enteng, simak saja peserta seminar yang selalu membludak ketika salah satu majalah Teknologi Informasi dan Komputer (TIK) Nasional menggelar acara tahunan Hackers Day, bahkan panitia harus menolak banyak peserta dikarenakan keterbatasan tempat. Hal itu terjadi tidak hanya di ibukota saja, melainkan juga di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Medan dan Surabaya.

Muda dan Berbahaya
Muda dan berbahaya adalah kombinasi yang mematikan. Betapa tidak, karena kaum muda seringkali menjadi agen perubahan, mereka lebih adaptif dan mudah menyerap berbagai hal baru dan menjadikannya sebagai sebuah tren. Kreatifitas dan energi yang besar adalah aset terbaik bagi kaum muda untuk mampu melakukan hal-hal besar dengan melahirkan tren-tren di dunia digital, dimana generasi analog harus tertatih-tatih mengikutinya.

Kaum muda yang tumbuh di jaman ini, memang terlahir sebagai warganegara digital yang cepat berinteraksi di dunia digital. Berbeda dengan generasi analog yang perlu ‘sertifikat kemampuan digital’ untuk dapat bermigrasi. Kecerdasan generasi digital jika tidak dibekali dengan etika bisa berefek negatif. Ingat bagaimana Mark Zuckerberg dalam film Social Networks? Sang penggagas Facebook ini melakukan pencurian ID teman-temannya dari database website Harvard, hanya untuk membuat ‘smash face’, yakni situs lelucon ala Zuckerberg, dengan membandingkan dua orang disertai pertanyaan konyol untuk mendapat pendapat dari teman-temannya dan disebar ke 22.000 Netters.

Bagi Zuckerberg dan teman-temannya, hal ini tentu merupakan hiburan dari ‘kenakalan’ di dunia maya, namun bagaimana dengan orang yang dijadikan bulan-bulanan dalam permainan tersebut? Bisa dipastikan merasa terganggu, tersinggung bahkan marah. Dan ketika dikenakan sangsi dari Harvard, tempatnya menuntut ilmu, karena membobol keamanan website Harvard, Zuckerberg justru berpendapat sebaliknya, yakni seharusnya dia memperoleh imbalan karena dapat menemukan celah untuk masuk dan mengakses database Harvard University.

Di Indonesia, beberapa crackers mencari uang dengan cara yang sama, sebagai contoh hacker muda dan penulis buku mengenai per-hacker-an, ‘Thor’, pernah membobol database salah satu Universitas Swasta di Jakarta, dan kemudian menginformasikan kepada pihak yang dibobol bahwa dia sanggup masuk ke private-database mereka. Selanjutnya hacker tersebut justru mendapatkan imbalan dari institusi yang dibobol setelah memaparkan kelemahan-kelemahan sekuritas sistem komputer dan jaringan mereka.

Kegiatan bobol-membobol ini mungkin hanya dianggap sebagai ‘kenakalan’ ataupun menjajal ‘kedigdayaan’ para crackers. sebelum mereka menciptakan kreatifitas yang bisa meraup rupiah atau menjadi bilyuner seperti sang pendiri Facebook Mark Zuckerberg. Ada baiknya kita tanya pada pendiri Kaskus, situs tempat nongrong netters yang cukup besar dan disegani di Indonesia, apakah pernah melakukan hal serupa? Menjadi gangsters di dunia digital?

Efek Konvergensi dan Koneksi Broadband
Tidak bisa dimungkiri, perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang bermuara ke konvergensi memiliki andil kuat dalam perkembangan DG di Indonesia. Konvergensi teknologi telekomunikasi yang ditandai dengan tergabungnya beberapa alat telekomunikasi bahkan broadcast dalam satu perangkat sehingga lebih efisien, nyaman dan mempunyai manfaat bagi penggunanya, diyakini sebagai cikal bakal perubahan gaya hidup digital secara besar-besaran. Ditunjang oleh kemudahan layanan koneksi broadband yang nyambung terus, yang digelontorkan oleh operator-operator Telekomunikasi Nasional, kemudahan koneksi ini mengakibatkan kreatifitas para netters menjadi tak terbendung. Mereka bisa menjelma menjadi citizen journalis, melakukan bisnis, jual-beli, ber-sosial network, membangun blog-blog kreatif, hingga ’kenakalan’ sebagian netter. Membobol sistem keamanan suatu institusi ataupun ID para selebriti, yang kemudian berkelompok, menimbulkan huru-hara di dunia maya, hingga menjadi gangsters.

Kita pasti sepakat, memang tak diragukan lagi manfaat yang diperoleh masyarakat dari teknologi konvergensi . Teknologi ini telah menumbuhkan peluang besar bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi yang berujung pada peningkatan kesejahteraan dalam satu tatanan masyarakat global.

Konvergensi TIK telah memberikan banyak manfaat dan peluang, namun bak dua sisi mata pisau, teknologi ini juga bisa menimbulkan ancaman tersendiri, yakni dengan adanya kejahatan-kajahatan di dunia maya. Bullying di dunia maya pun sekarang marak terjadi, saling memaki dan melakukan kampanye negative terhadap seseorang melalui situs jejaring sosial hingga sang korban merasa ‘tersakiti’ bahkan ada yang bunuh diri. Bagaimana bisa? Dahulu, orang tua kita mampu memberikan trik-trik kepada anaknya untuk bertahan ataupun membela diri dalam sebuah ‘perkelahian’ berdasarkan pengalaman mereka waktu muda, namun sekarang yang terjadi mereka tidak punya kiat-kiat yang dapat direferensikan untuk membeladiri dari bullying di dunia digital. Sementara, para netters muda ini tidak punya guru yang memberikan bekal edukasi cukup untuk berkiprah di dunia digital. Mungkin mereka tidak bertujuan menyakiti sesamanya, bahkan beranggapan tidak ada yang salah dengan memperoleh uang secara gampang dari internet, bukankah hal tersebut bisa menyejahterakan financial mereka?

Seringkali institusi-institusi yang concern terhadap keamanan web ataupun sistemnya mengundang para crackers untuk membobol sistem sekuritas mereka. Dan yang berhasil membobol akan diberi imbalan setelah memaparkan kelemahan sistem jaringan komputer mereka. Sehingga sistem keamanan jaringan computer institusi tersebut bisa semakin rigid dan aman.

Barangkali informasi mengenai digital gangsters diatas terkesan tabu untuk dipaparkan dalam forum akademik dan dianggap sebagai kontra manfaat bagi teknologi konvergensi, tetapi apakah kaum muda sepakat dengan hal tersebut? Sebagian dari mereka beranggapan sah-sah saja dan bahkan bangga tergabung dalam komunitas DG.

Perlu peran pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melakukan dialog mengenai etika di dunia digital, agar tidak memiliki konotasi ambigu mengenai digital gangsters. Sudah selayaknya kita bahu membahu guna memberikan edukasi tanpa henti kepada generasi muda yang notabene adalah warganegara dari Digital Nation, yang juga sang penerus bangsa untuk menjadi warga berperilaku santun dan mempunyai standar etika tinggi di dunia digital.